Tittle : Be The One part 1
Twitter : @lilikM_
|
...
Pagi ini tak
berbeda dengan hari-hari biasa, Rafael dan adiknya bersiap diri untuk mencari
ilmu. Setiap pagi Della harus menyiapkan sarapan untuk kakaknya dan juga
untuknya dirinya yang pasti, kemana orang tua mereka (?) dua tahun yang lalu
bunda mereka meninggal dan ayah mereka tak tau enatah kemana sejak mereka
kecil.
“Masak apa kamu
hari ini dek (?)” tanya Rafael sembari menarik kursi kayu yang sudah mulai
rapuh dimakan usia.
“Gak usah tanya
kak yang pasti kita makan apa yang selagi bisa kita beli” ujar Della. Rafael
hanya tersenyum tipis, inilah hidup mereka begitu sederhana. Hidup berdua
disebuah kontrakan yang tak terlalu besar dan hanya ada satu kamar. Terpaksa
Rafael harus mengalah untuk adiknya, setiap ingin beristirahat Rafael tidur
dilantai ruang tengah beralaskan tikar.
“Ya sudah cepat
makan terus cepat berangkat sekolah, jangan sampai kamu telat” titah Rafael
pada Della dan menjawab sebuah anggukan kepala dari Della. Adik kakak ini mulai
menyantap hidangan sederhana pada pagi ini, tak pernah mereka mengeluh karena
ini memang hidup yang harus mereka jalani. Della sekolah pun karena mendapat
beasiswa dan begitu pula Rafael yang kuliah hingga ingin diwisuda pun karena
mendapat beasiswa.
“selesai” ujar
adik kakak ini bersama setelah sarapan mereka telah habis dan Della segera
meraih tasnya lalu beranjak mendekat kearah sang kakak, mencium punggung tangan
Rafael itu yang selalu Della lakukan sebelum berangkat sekolah.
“Hati-hati
dijalan” pesan Rafael pada Della saat melangkah keluar rumah dan mendapat
acungan jempol dari Della. Seusai berlalu-nya Della kini Rafael harus membersikan
meja makan, mencuci semua gelas dan piring kotor setelah itu membersikan rumah.
Rafael dan Della memang selalu membagi tugas, setiap pagi Della yang harus
memasak dan Rafael yang membersikan rumah.
“Akhirnya selesai
juga” Rafael menghapus peluh dikeningnya, benar-benar melelahkan setiap hari
harus melakukan pekerjaan wanita. Rafael melirik jam didinding, matanya membola
karena setengah jam lagi Ia ada kelas, dengan cepat Rafael mengambil tas
punggung miliknya lalu berlalu pergi namun sebelumnya tengah mengunci rumahnya.
...
Nafasnya
terengah-engah karena hampir 1 km lebih Ia harus berlari, karena angkutan yang
ditumpanginya mendadak mogok ditengah jalan dan tak ada angkutan lain yang
melintas dengan terpaksa Della harus berjalan hingga sekolah. Nafasnya yang
memburu membuatnya harus berhenti sejenak untuk mengatur nafas, jarak yang
masih lumayan jauh tak mungkin dapat ditempuh dengan jalan kaki dalam waktu 10
menit, tubuhnya terasa lemas karena takut akan hukuman yang didapat apabila
telat belum lagi berpengaruh dengan beasiswa-nya.
“Del ayok masuk”
ujar seorang gadis yang tak asing bagi Della. Della mendongakan kepalanya yang
tertunduk menatap bebinar seorang gadis dalam mobil yang memberikan dirinya
tumpangan gratis pastinya, dengan cepat Della melangkah memasuki mobil sedan
merah dihadapannya, duduk disamping pengemudi lalu mobil ini kembali melaju.
“Kenapa bisa
dipinggir jalan (?)”
“Ceritanya panjang
gak kuat nafas ini kalau buat bicara banyak-banyak Li” ujar Della. Li atau
lebih tepatnya Lili menggelengkan kepala lalu merai satu botol air mineral
didalam tasnya dan memberikan pada Della, tanpa mengucapkan terima kasih
terlebih dahulu Delle sudah meneguk habis air didalam botol.
“Kamu ini seperti
habis dikejar anjing saja” ujar Lili dengan terkekeh.
“Ini lebih dari
dikejar anjing tau. Andai hari ini telat dapat dibayangin dapat hukuman dari
guru kiler kita belum lagi beasiswa Ku juga bisa terancam” tutur Della
sedangkan Lili hanya menganggukan kepala mendengar cerita temannya. Tak lama
mobil sedan merah ini telah sampai diarea sekolah membuat Della bernafas lega
karena tak telah datang kesekolah.
“Makasih buat
semua pada pagi hari ini” ujar Della saat mereka melangkah menyususri koridor
sekolah menuju kelas karena mereka memang satu kelas dan satu bangku pula.
“Biasa aja kali
Del kita itu teman jadi harus saling membantu” ujar Lili.
“Tapi tumben kamu
datangnya kok siangan” tanya Della.
“Biasa tadi mama
lagi banyak ceramah yang harus Aku dengerin, pokoknya harus ini harus itu
sampai buat Aku pusing tau gak. Andai punya kakak pasti ada yang bisa ngertiin
Aku”
“Seharusnya kamu
bersyukur masih memiliki orang tua dan apalagi kamu kaya. Coba lihat Aku, hidup
hanya berdua dengan kakak dan hidup serba kekurangan” ujar Della dengan
menundukan kepala, setiap mengingat kehidupannya selama ini selalu membuat
Della bersedih, kenapa Tuhan tak memberinya hidup seperti para teman-temannya
yang lain.
“Kita sama-sama
bersyukur saja karena Tuhan masih memberi kita hidup meski masih ada
kekurangan, tapi harus selalu kita ingat kalau Tuhan itu adil” tutur Lili
begitu bijak.
“Tumben banget
kamu bijak, belajar dari mana neng (?)” goda Della.
“Ishhh... kamu
sama Aku memang pintaran Aku bukan (?) jadi gak usah sok kaget gitu” Lili
melangkah lebih dahulu meninggalkan Della sendiri dan Della hanya menggelengkan
kepala lalu menyusul Lili karena bel sekolah akan segera menggema.
...
Memperhatikan
dengan seksama apa yang didengar dan mencatat apa yang perlu dicatatan membuat
Rafael terlihat begitu rajin, namun apa yang Rafael lakukan tak berbeda dengan
temannya satu kelas siang ini. Tak lama pelajaran telah usai membuat seluruh
penghuni meninggalkan ruangan, Rafael merapikan terlebih dahulu bawaannya kali
ini lalu bergegas keluar ruangan.
“Masuk kerja satu
jam lagi terus enaknya sekarang ngapain” Rafael terlihat bingung dengan
menyandarkan tubuhnya pada dinding luar kelasnya, padangannya lurus kedepan
menatap kesibukan para mahasiswa. Seorang gadis datang menghampirinya dan
sengaja mengejutkan.
“Doooor”
“Ya ampun Hana,
kamu ini sekali saja gak ngerjain Aku apa gak bisa” Rafael menatap kesal gadis
yang dipanggilnya dengan Hana.
“Maaf Raf, Aku itu
gak mau saja liha temanKu yang ganteng ini ngelamun sendiri, kalau ada masalah
cerita gih sama Aku” ujar Hana.
“Siapa juga yang
punya masalah, jadi cewek itu jangan sok tau kamu” Rafael mengacak gemas puncak
kepala Hana, membuat Hana menggelembungkan pipi mulusnya.
“Salah ya kalau
Aku cuma nebak (?)” tanya Hana dengan wajah polosnya. Rafael terkekeh geli
meilhat wajah cantik Hana yang mampu membuat jantung Rafael bekerja tak normal.
Sejak awal berkenalan dengan Hana dua bulan yang lalu Rafael sudah jatuh hati
kegadis berdarah Belanda-Indonesia ini, wajahnya yang cantik membuat Rafael tak
pernah bosan melihatnya.
“Aneh kamu hari
ini, perlu dibawa kerumah sakit jiwa biar cepat pulih kali ya” ujar Hana.
“Hemm... udah
jangan bercanda terus lebih baik kalau kita belajar bersama ditaman” Rafael.
“Sepertinya seru
kalau kita belajar bersama, baiklah kalau begitu kita...” ujar Hana terpotong
karena kedatangan seorang pria berpipi chubby.
“Han tadi mama
kamu telfon nyuruh Aku buat ngajak kamu pulang bareng, katanya kamu gak bawa
mobil”
“Ngga tapi Aku...”
lagi dan lagi pria berpipi chubby ini memotong ucapan Hana.
“Kata mama kamu
gak boleh menolak, sekarang ikut Aku” Ngga atau Rangga menarik tangan Hana agar
ikut dengannya, sedangkan Hana tak dapat menolak karena tau benar bagaimana
Rangga. Rafael hanya menatap lemas berlalunya Hana dengan Rangga, setiap begini
yang terjadi andai ada Rangga, begitu terlihat kalau Rangga tak suka Hana dekat
dirinya.
...
Dua gadis cantik
ini bercanda bersama seiring langkah kaki mereka, ada saja hal bisa membuat
mereka tertawa hingga membuat wajah putih mereka memerah. Canda tawa hingga
membuat tak terasa kalau mereka telah berada dihadapan mobil sedan merah milik
Lili.
“Kamu pulang sama
Aku saja ya Del, lagian rumah kita juga searah” Lili.
“Gak enak kalau
Aku terus-terusan nebeng sama kamu, lebih baik Aku naik angkutan umum saja”
tolak Della lembut.
“Della gak asyik
tau jadi teman, kalau kamu nebeng sama Aku uang kamu bisa kamu tabung dari pada
buat naik angkutan umum” ujar Lili yang terus memaksa Della agar mau ikut
dengan dirinya. Della tengah berfikir memang benar kata Lili, namun ada rasa
ragu bila harus nebeng Lili setiap saat.
“Udah gak usah
banya fikir” Lili membuka pintu mobilnya lalu mendorong pelan tubuh Della agar
masuk kedalam mobilnya, senyum puas terpancar dari bibir tipis Lili.
“Aku belum jawab
tapi udah main dorong aja, sekarang kamu tau yang gak asyik” ujar Della menatap
kesal Lili yang tengah terkekeh geli. Lili tak menjawab melajukan mobilnya
menyusuri jalanan menuju rumahnya, gadis ini tak mengantarkan Della pulang
terlebih dahulu melainkan mengajak Della main kerumahnya.
“Li seharusnya
tadi berhenti sekarang jadi kelewat bukan jalan kerumahKu” Della.
“Main dulu
kerumahKu nanti sore Aku antar kamu pulang” ujar Lili santai mendapat anggukan
kepala dari Della, yang terpenting untuk Della temannya mau mengantarkan
dirinya pulang. Della tak menolak ajakan Lili untuk main pula karena ada
alasan, terasa bosan dirumah sendiri tanpa ada teman.
“Mama mah mama”
teriak Lili memanggil sang mama saat kakinya memijak lantai ruang tamu
rumahnya.
“Gak sopan tau gak
usah teriak bisa kali, panggil dengan suara biasa saja mama kamu pasti dengar”
Lili menggaruk tengkuk lehernya kikuk karena bingung harus menjelaskan
bagaimana pada Della, tak mungkin Lili bilang kalau mama-nya tak mungkin dengar
kalau dipanggil dengan suara biasa sedangkan rumah ini begitu luas, nanti bisa
dikira Lili sombong memamerkan rumahnya yang mewah ini.
“Mama disini
sayang, tumben langsung pulang biasanya juga main dulu” mama Lili datang
menghampiri dan menatap Della yang memang sudah dikenalnya sebagai teman sang
putri.
“Ada Della juga
ternyata” lanjutnya.
“Iya tante tadi
Della dipaksa buat Lili main kesini” Della mencium punggung mama dari temannya.
“Iya dong harus
dipaksa biar gak Lili terus yang main kerumah kamu, sering-sering juga kamu
main kesini” ujar mama Lili.
“Betul itu kata
mama” Lili membenarkan kata sang mama.
“Tante Laura bisa
saja” ujar Della.
“Ajak masuk sana
Della-nya nanti mama bawakan minuman kekamar kamu” perintah tante Laura pada
sang putri mendapat anggukan kepala dari Lili, lalu dua gadis cantik ini
melangkah memasuki kamar sang pemilik rumah. Tanpa rasa sungkan Della
merebahkan tubuhnya diranjang empuk dikamar Lili, begitu berbeda rasanya saat
berada dikamar Lili ini dibanding kamarnya sendiri yang bahkan hanya seukuran
dengan kamar mandi dikamar Lili.
“Kamu ngantuk ya
Del (?)” tanya Lili setelah mengganti seragamnya dengan baju santai.
“Gak terlalu
memang kenapa (?)”
“Aku mau cerita
sama kamu, tentang hidupKu yang belum kamu ketahui karena Aku saja baru semalam
tau kenyataan ini” ujar Lili dengan menundukan kepala. Della merubah posisi-nya
yang awalnya rebahan menjadi duduk, menatap aneh Lili yang tengah bersedih.
“Gak asyik beneran
ini anak belum cerita udah galau duluan” goda Della berharap Lili dapat
terhibur.
“Sebenarnya Aku
punya kakak tapi kakak Ku hilang saat umurnya dua tahun, sampai sekarang mama
dan papa mencari keberadaan kakak Ku tapi tak kunjung ditemukan. Kita berharap
ada kepastian sebenarnya dia masih hidup apa sudah tak ada, bukan seperti ini
yang tak tau apa-apa” Lili menitihkan air mata menceritakan apa yang baru saja
diketahui semalam pada Della yang sudah dianggap seperti sahabatnya sendiri.
Della merengkuh tubuh Lili dalam pelukannya, membiarkan air mata Lili membasahi
seragam sekolahnya yang masih melekat ditubuhnya.
“Ternyata kita
memiliki masalah yang hampir sama-sama berat. Aku yakin suatu saat Tuhan akan
menyelesaikan masalah kita dengan indah, terus berdoa dan berusaha karena Tuhan
tak tuli dan tak buta” Della begitu bijak dalam berkata. Lili hanya
menganggukan kepala dan masih terisak dalam dekapan Della, entah gadis ini
terus menitihkan air mata dari semalam bila mengingat bagaimana kakaknya
sekarang, wajar karena dari dulu Lili begitu menginginkan memiliki seorang
kakak atau adik.
|
...
Pemuda ini tengah
sibuk dengan tugasnya sebagai pelayan disebuah cafe tempatnya bekerja, dari
meja satu hingga yang lain secara bergantian Rafael mencatat pesanan pengunjung
cafe. Rafael menundukan kepala saat menghampiri setiap pengunjung cafe yang
memanggilnya untuk memesan makanan hingga membuatnya tak menyadari sejak awal
gadis yang begitu mengenalnya.
“Rafa” guman Hana
kecil namun masih terdengar ditelinga Rafael hingga membuat Rafael menatap tak
percaya Hana yang datang bersama dengan Rangga dan dua wanita paruh baya,
Rangga tersenyum sinis ternyata saingannya tak sebanding dengan dirinya.
“Oh jadi begini
pekerjaan teman kamu, Han. Gak nyangka seorang Hana putri dari pengusaha kaya
punya teman seorang pelayan cafe, menurut tante apa pantas itu (?)” penuturan
Rangga membuat mata Hana dan sang mama membola.
“Hana, apa yang
Rangga kata itu benar (?)” tanya mama Hana, sebut saja tante Carolin.
“Memang apa yang
Rangga bilang itu benar, tapi Aku tak membenarkan kata Rangga yang bilang kalau
Aku tak pantas berteman dengan Rafael” tutur Hana yang membuat tante Carolin
tersentak, apa-apaan Hana ini membuat malu saja menurutnya berteman dengan pria
kelas bawah yang begitu jauh kelas dengan mereka.
“Mama pokoknya gak
mau dengar lagi kamu berteman dengan dia” tante Carolin menatap sinis Rafael
yang hanya diam.
“Mama” sentak
Hana.
“Kamu udah berani
bentak mama, sejak kapan kamu berani tentang mama atau jangan-jangan sejak
berteman dengan pria kampungan ini” Hana hanya mampu menggelengkan kepala
karena kini amarah sang mama tengah naik pitam hingga membuat tante Carolin tak
menyadari kalau mereka kini tengah menjadi perhatian pengunjung cafe.
“Maaf saya memang
orang miskin yang tak sejajar dengan kalian tapi saya masih punya harga diri,
dan saya juga gak pernah menghasut Hana untuk berani menentang tante” ujar
Rafael.
“Hah... gak usah
bohong deh Loe, Gue tau banget orang miskin macam Loe berteman dengan Hana
hanya ingin morotin harta Hana kan (?)” ujar Rangga begitu sinis.
“Tak selalu orang
miskin seperti saya seperti yang kamu kata, kami tak punya apa-apa setidaknya
kami masih menjaga harga diri kita agar tak terinjak-injak orang seperti
kalian, sekali lagi maaf saya tak ingin membuat masalah. Mau pesan apa (?)”
Rafael begitu sopan. Pandai sekali pria ini menutupi rasa sakit hatinya
mendapat hinaan dari Rangga dan tante Carolin.
“Maaf jeng saya
jadi tak nafsu makan gara-gara keributan ini. Rangga lebik baik kita pulang
sekarang, mama tunggu kamu dimobil” mama Rangga yang tengah menahan malu karena
menyadari menjadi pusat perhatian pengunjung cafe berlalu begitu saja setelah
berpamitan pada tante Carolin.
“Gara-gara kamu
semua jadi kacau” tante Carolin pun ikut pergi mengikuti temannya tanpa
memperdulikan lagi sang putri.
“Gue akan buat
perhitungan dengan yang Loe lakuin hari ini” Rangga dengan perasaan kesal pula
pergi berlalu hingga membuatnya tak menyadari kalau Hana masih tetap berada
ditempatnya. Rafael hanya diam karena masih merasa sakit hati dengan hinaan
dari Rangga dan tante Carolin, meski hinaan itu sering sekali terdengar
ditelinganya namun hinaan dari keluarga gadis yang dicintai Rafael membuatnya
terluka.
“Maaf atas ucapan
mama tadi, mungkin saja mama hanya terhasut dengan kata-kata Rangga” sesal
Hana. Rafael hanya tersenyum tipis karena entah mengapa rasa sakit hati itu
memutar setelah mendengar lontaran kata maaf dari Hana yang mewakili tante
Carolin.
“Yah Aku mengerti
mungkin mama Mu hanya terhasut saja” Rafael. Hana merasa lega ternyata Rafael
tak marah pada sang mama terutama pada dirinya.
“Masalah Rangga
kamu gak usah khawatir, karena Aku yang akan menjamin kalau dia gak akan berani
untuk macam-macam ke kamu” tutur Hana.
“Aku ini laki-laki
biar semua Aku yang mengatasi sendiri kalau Rangga macam-macam padaKu” Rafael.
Hana dan Rafael hanya diam sibuk dengan hati mereka yang terasa aneh, rasa ini
rasa yang ada setiap mereka bertemu.
“Eheeeeeem” dehem
seorang pria hingga menyadarkan Hana dan Rafael dari lamunannya, Rafael yang
tau kalau itu suara sang manajer cafe hanya mampu menundukan kapala karena tau
kalau Ia akan terkena marah membuat masalah dan mengobrol pada saat kerja.
“Apa yang kamu
lakukan disini, masih banyak pekerjaan yang harus kamu lakukan dibanding harus
diam disini” ujarnya.
“Maaf” sesal
Rafael.
“Saya tak butuh
kata maaf hanya butuh tenaga kamu yang sudah saya bayar” ujarnya lalu pergi
dari hadapan Hana dan Rafael.
“Dan lagi karena
Aku ada masalah yang datang menghampiri kamu, maaf untuk kesekian kali” Hana
benar-benar tak enak hati, masalah karena sang mama saja mungkin masih
membekaskan luka dihati Rafael kini karena Hana kembali Rafael terkena masalah.
“Tak apa ini bukan
salah kamu. Nona cantik mau pesan apa (?)” ujar Rafael dengan senyuman manis.
“Ishhhh... makasih
untuk pujiannya tapi Aku gak ada teman buat makan” Hana tertunduk lesu. Gadis
ini memang tak terbiasa makan sendiri karena terasa aneh menurutnya, setiap
makan pasti akan ada yang menemani entah itu hanya sekedar menemani makan atau
makan bersama, kebiasaan yang aneh menurut saya.
“Lalu bagaimana
(?)” tanya Rafael yang ikut merasa bingung dengan gadis dihadapannya.
“Bagaimana kalau
kamu saja yang makan disini bersama denganKu” saran Hana dengan mengedipkan
sebelah matanya membuat Rafael tersentak kaget dengan apa yang Hana lakukan.
“Kamu ini ada-ada
saja, pekerjaan Ku masih banyak tak mungkin menemani Mu makan” tolak Rafael
lembut. Hana cemberut mendengar tolakan dari Rafael namun seketika ide
cemerlang muncul dibenaknya, pandangan mata Hana mengitari setiap sudut ruangan
cafe mencari keberadaan pria yang sempat menegur Rafael, matanya menyipit lalu
segera beranjak menuju apa yang telah menjadi obyeknya tadi. Rafael
mengkerutkan keningnya karena sejujurnya tak memahami apa yang akan Hana
lakukan.
“Apa yang kamu
lakukan tadi (?)” tanya Rafael setelah Hana kembali berada dihadapananya.
“Yang Aku lakukan
hanya mau kamu menemani Ku makan atau kamu akan dipecat dari cafe ini” ujar
Hana dengan senyum genitnya. Tingkah gadis ini benar-benar Rafael gemas
melihatnya, hanya dengan senyum tipis Hana saja sudah membuat Rafael bahagian
apalagi mendapat perlakuan seperti ini.
...
Hingga malam tiba
Lili baru mengantarkan temannya pulang, awalnya Lili tak mau mengantarkan Della
pulang karena ingin Della menginap dirumahnya namun Della menolak lembut ajakan
Lili, beralasan kasihan dengan sang kakak bila tinggal dirumah sendiri.
Akhirnya Lili memutuskan kalau dirinya yang akan menginap dirumah Della, Della
mau menolak tapi Lili sudah mengancam tak mau berteman lagi kalau tak
mengizinkan.
“Kamu pulang saja
sana, yakin deh kalau kamu gak akan tahan tidur dirumahKu” ujar Della menatap
lekat Lili.
“Siapa bilang
kalau Aku gak tahan (?)”
“Susah banget
ngomong sama kamu, Li. Rumah Aku berbeda jauh dengan rumah kamu, apalagi dengan
kamarKu yang hanya seukuran dengan kamar mandi kamu” Della begitu merendah
membandingkan rumahnya dengan rumah temannya yang memang berbeda jauh dari
rumahnya belum lagi tempat tinggalnya ini bukan rumahnya sendiri.
“Gak ada beda-nya
kok rumah kamu sama rumah Aku. Rumah itu akan bagus apabila membuat kita nyaman
tinggal disana, dan sekarang Aku nyaman ada dirumah kamu” ujar Lili dengan
wajah sumringahnya yang menunjukan kalau Ia memang nyaman ketika berada dirumah
Della, entah mengapa padahal rumah Della berbeda jauh dengan kondisi rumahnya.
“Terserah kamu
saja, pusing Aku bilangin kamu” pasrah Della.
“Kakak kamu mana
kok belum pulang juga (?), nanti keburu makanannya dingin”
“Iya tumben belum
pulang, kalau lembur juga pasti kak Rafa bilang sama Aku” Della mulai gelisah
karena sang kakak tak kunjung pulang, kalau memang Rafael lembur pasti akan
bilang pada Della sehingga Della tak akan menunggu Rafael sampai pulang.
“Mungkin macet
lagi jadi sampai rumahnya lebih malam” ujar Lili berusaha membuat Della tak
gelisah.
“Iya kali karena
juga angkutan umum kalau malam susah carinya” Della.
“Kalau sampai jam
sepuluh kakak kamu belum pulang kit....” terdengar seorang pria mengucapkan
salam didepan sana sehingga membuat Lili menghentikan ucapannya lalu menatap
kearah Della yang mengangkat bahu. Della dan Lili beranjak dari duduknya dan
melangkah menuju pintu utama rumah ini.
“Kak Dicky” ujar
Della. Ternyata pemuda yang mengucapkan salam adalah Dicky teman dari Rafael,
rumah Dicky memang tak jauh dari tempat tinggal Della dan Rafael sehingga
membuat Dicky sering main bahkan menginap dirumah kecil ini.
“Kakak kamu udah
pulang Del (?)” tanya Dicky.
“Belum kak” Della.
Dicky menganggukan kepala dan melirik gadis yang berdiri disamping Della yang
hanya diam, seorang gadis yang begitu asing dipenglihatan Dicky. Dari atas
sampai bawa Dicky tau kalau teman Della ini bukan gadis sekitar sini, karena
dari penampilan begitu berbeda dengan gadis sekitar rumahnya.
“Kenalin kak Dicky
ini Lili dan Li kenalin ini kak Dicky” Della mengenalkan Dicky pada Lili begitu
sebaliknya. Mereka saling berjabat tangan mengenalkan nama mereka
masing-masing, ada yang aneh dari Dicky entah apa itu yang belum disadari oleh
Dicky. Seorang pria dengan senyum terus mengembang dibibirnya datang
menghampiri mereka, seorang pria yang sudah tak asing untuk Dicky dan Della
berbeda dengan Lili yang baru pertama kali bertemu dengan pria yang tak lain
Rafael.
“Tumben ramai
begini” ujar Rafael.
“Ramai karena ada
tamu cantik ini kak” ujar Della dengan merangkul pundak temannya.
“Ada yang tampan
juga loh Raf yaitu Gue” ujar Dicky yang lalu mendapat toyoran dari Rafael.
“Tampan kata Loe
tapi gak dapat-dapat pacar juga” ledek Rafael. Lili hanya diam sembari menatap
lekat wajah tampan Rafael, nyaman dan begitu tenang saat menatap Rafael, apa
mungkin Lili jatuh cinta pada pandangan pertama pada kakak temannya, dengan
cepat Lili membuang rasa itu jauh-jauh.
“Kalian ini sudah
tua juga tapi masih saja ribut” Della melerai adu mulut antara Rafael dan
Dicky.
“Oh yah... Li
kenalin ini kak Rafael, kakak yang paling Aku sayang” Della. Rafael dan Lili
tersenyum mendengar penuturan Della yang menunjukan kalau Della benar-benar
begitu menyayangi Rafael, hanya Rafael lah satu-satunya keluarga yang dimiliki
Della jadi wajar kalau Della begitu menyayangi Rafael.
“Rafael”
“Lili”
Saling berkenalan
satu sama lain dan berjabat tangan seperti yang Dicky dan Lili tadi lakukan.
Hati mereka berdua sama-sama bergetar hebat, ada apa ini kenapa saat mereka
saling bertatapan ada rasa yang begitu nyaman, mereka sama-sama tak ingin
melepas pandangan ini.
“Tuhan tatapan
mata ini lebih tenang dibanding menatap mata Hana, jantung ini pula lebih
berdetak kencak saat disampingnya, apa Aku (?)” batin Rafael bergejolak. Apa
mereka telah jatuh cinta pada pandangan pertama dan apa cinta Rafael untuk Hana
telah lenyap saat bertemu dengan Lili. Della dan Dicky hanya diam dan menatap
aneh Rafael dan Lili yang tak melepas jabat tangan mereka, keanehan ini begitu
disadari oleh Della dan senyum tipis tergurat dibibirnya.
“Eheeee...” dehem
Della membuat Rafael dan Lili seketika melepas jabat tangan mereka. Lili
menundukan kepala merasa malu dengan apa yang telah terjadi, sedangkan Rafael
mengusap tengkuknya untuk mengekspresikan rasa malunya.
“Dapat saingan deh
Gue” ujar Dicky lesu membuat Della yang mendengarnya terkekeh geli.
“Saingan buat
rebutin siapa dan siapa saingan Loe (?)” tanya Rafael yang belum menyadari
ucapan Dicky tadi.
“Loe itu tampan
Rafael tapi kenapa punya otak gak buat mikir” kesal Dicky.
“Sudah-sudah kita
masuk kalau mau ribut didalam” Della masuk kedalam rumahnya diikuti Dicky,
sedangkan Rafael dan Lili hanya diam ditempat mereka, entah mengapa rasanya
kaki mereka sulit sekali digunakan untuk melangkah.
“Masuk yuk” ajak
Rafael dengan menarik tangan Lili tanpa sadar. Lili menatap tangannya namun tak
ada niatan untuk melepas genggaman Rafael karena jujur Ia merasa nyaman berada
didekat Rafael. Hingga dimeja maka Rafael belum melepas genggamnya pada tangan
Lili, membuat Dicky yang melihatnya merasa kesal, sedangkan Della hanya
tersenyum.
“Cantik dan tampan
pasangan yang serasi. Aku restui kalau kak Rafa pacaran sama Lili, karena Aku
tau kalau Lili gadis yang baik” tutur Della yang semakin membuat Dicky terbakar
api cemburu. Rafael pun tersadar lalu melepas genggamannya dan salah tingkah
sendiri. Ada apa dengan Rafael (?) semua berbeda dengan yang dirasa Rafael saat
bersama Hana. Apa rasa itu benar-benar telah berpaling (?). Berbagai macam
pertanyaan berputar dalam hati Rafael.
“Kalian mau makan
atau mau berdiri terus (?)” tanya Dicky ketus karena Rafael dan Lili tak
kunjung duduk. Rafael dan Lili pun duduk berdekatan, karena memang kusri yang
kosong tinggal dua kusri yang berdekatan. Dicky semakin cemburu melihatnya,
ingin sekali dirinya yang duduk disamping Lili bukan Rafael.
“Makin panas saja,
dibanding panas-panas lebih baik kita makan” canda Della. Mereka menikmati
makanan dihadapan mereka, sebelum makan Rafael sempat bertanya pada adiknya
dari mana semua makanan ini (?) dan Rafael pun tau kalau semua makan ini dari
Lili, semakin menambah nilai ples untuk Lili dimata Rafael, gadis yang baik
tanpa pandang status. Saat makan tak jarang Rafael dan Lili saling pandang dan
tersenyum, membuat Dicky yang lagi-lagi melihatnya merasa cemburu, Della hanya
terkekeh melihat tingkah aneh Dicky.
BERSAMBUNG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar