Minggu, 18 Agustus 2013

Be The One part 1



Bottom of Form

Bottom of Form
Tittle : Be The One part 1
Twitter : @lilikM_

...
Pagi ini tak berbeda dengan hari-hari biasa, Rafael dan adiknya bersiap diri untuk mencari ilmu. Setiap pagi Della harus menyiapkan sarapan untuk kakaknya dan juga untuknya dirinya yang pasti, kemana orang tua mereka (?) dua tahun yang lalu bunda mereka meninggal dan ayah mereka tak tau enatah kemana sejak mereka kecil.
“Masak apa kamu hari ini dek (?)” tanya Rafael sembari menarik kursi kayu yang sudah mulai rapuh dimakan usia.
“Gak usah tanya kak yang pasti kita makan apa yang selagi bisa kita beli” ujar Della. Rafael hanya tersenyum tipis, inilah hidup mereka begitu sederhana. Hidup berdua disebuah kontrakan yang tak terlalu besar dan hanya ada satu kamar. Terpaksa Rafael harus mengalah untuk adiknya, setiap ingin beristirahat Rafael tidur dilantai ruang tengah beralaskan tikar.
“Ya sudah cepat makan terus cepat berangkat sekolah, jangan sampai kamu telat” titah Rafael pada Della dan menjawab sebuah anggukan kepala dari Della. Adik kakak ini mulai menyantap hidangan sederhana pada pagi ini, tak pernah mereka mengeluh karena ini memang hidup yang harus mereka jalani. Della sekolah pun karena mendapat beasiswa dan begitu pula Rafael yang kuliah hingga ingin diwisuda pun karena mendapat beasiswa.
“selesai” ujar adik kakak ini bersama setelah sarapan mereka telah habis dan Della segera meraih tasnya lalu beranjak mendekat kearah sang kakak, mencium punggung tangan Rafael itu yang selalu Della lakukan sebelum berangkat sekolah.
“Hati-hati dijalan” pesan Rafael pada Della saat melangkah keluar rumah dan mendapat acungan jempol dari Della. Seusai berlalu-nya Della kini Rafael harus membersikan meja makan, mencuci semua gelas dan piring kotor setelah itu membersikan rumah. Rafael dan Della memang selalu membagi tugas, setiap pagi Della yang harus memasak dan Rafael yang membersikan rumah.
“Akhirnya selesai juga” Rafael menghapus peluh dikeningnya, benar-benar melelahkan setiap hari harus melakukan pekerjaan wanita. Rafael melirik jam didinding, matanya membola karena setengah jam lagi Ia ada kelas, dengan cepat Rafael mengambil tas punggung miliknya lalu berlalu pergi namun sebelumnya tengah mengunci rumahnya.

...
Nafasnya terengah-engah karena hampir 1 km lebih Ia harus berlari, karena angkutan yang ditumpanginya mendadak mogok ditengah jalan dan tak ada angkutan lain yang melintas dengan terpaksa Della harus berjalan hingga sekolah. Nafasnya yang memburu membuatnya harus berhenti sejenak untuk mengatur nafas, jarak yang masih lumayan jauh tak mungkin dapat ditempuh dengan jalan kaki dalam waktu 10 menit, tubuhnya terasa lemas karena takut akan hukuman yang didapat apabila telat belum lagi berpengaruh dengan beasiswa-nya.
“Del ayok masuk” ujar seorang gadis yang tak asing bagi Della. Della mendongakan kepalanya yang tertunduk menatap bebinar seorang gadis dalam mobil yang memberikan dirinya tumpangan gratis pastinya, dengan cepat Della melangkah memasuki mobil sedan merah dihadapannya, duduk disamping pengemudi lalu mobil ini kembali melaju.
“Kenapa bisa dipinggir jalan (?)”
“Ceritanya panjang gak kuat nafas ini kalau buat bicara banyak-banyak Li” ujar Della. Li atau lebih tepatnya Lili menggelengkan kepala lalu merai satu botol air mineral didalam tasnya dan memberikan pada Della, tanpa mengucapkan terima kasih terlebih dahulu Delle sudah meneguk habis air didalam botol.
“Kamu ini seperti habis dikejar anjing saja” ujar Lili dengan terkekeh.
“Ini lebih dari dikejar anjing tau. Andai hari ini telat dapat dibayangin dapat hukuman dari guru kiler kita belum lagi beasiswa Ku juga bisa terancam” tutur Della sedangkan Lili hanya menganggukan kepala mendengar cerita temannya. Tak lama mobil sedan merah ini telah sampai diarea sekolah membuat Della bernafas lega karena tak telah datang kesekolah.
“Makasih buat semua pada pagi hari ini” ujar Della saat mereka melangkah menyususri koridor sekolah menuju kelas karena mereka memang satu kelas dan satu bangku pula.
“Biasa aja kali Del kita itu teman jadi harus saling membantu” ujar Lili.
“Tapi tumben kamu datangnya kok siangan” tanya Della.
“Biasa tadi mama lagi banyak ceramah yang harus Aku dengerin, pokoknya harus ini harus itu sampai buat Aku pusing tau gak. Andai punya kakak pasti ada yang bisa ngertiin Aku”
“Seharusnya kamu bersyukur masih memiliki orang tua dan apalagi kamu kaya. Coba lihat Aku, hidup hanya berdua dengan kakak dan hidup serba kekurangan” ujar Della dengan menundukan kepala, setiap mengingat kehidupannya selama ini selalu membuat Della bersedih, kenapa Tuhan tak memberinya hidup seperti para teman-temannya yang lain.
“Kita sama-sama bersyukur saja karena Tuhan masih memberi kita hidup meski masih ada kekurangan, tapi harus selalu kita ingat kalau Tuhan itu adil” tutur Lili begitu bijak.
“Tumben banget kamu bijak, belajar dari mana neng (?)” goda Della.
“Ishhh... kamu sama Aku memang pintaran Aku bukan (?) jadi gak usah sok kaget gitu” Lili melangkah lebih dahulu meninggalkan Della sendiri dan Della hanya menggelengkan kepala lalu menyusul Lili karena bel sekolah akan segera menggema.

...
Memperhatikan dengan seksama apa yang didengar dan mencatat apa yang perlu dicatatan membuat Rafael terlihat begitu rajin, namun apa yang Rafael lakukan tak berbeda dengan temannya satu kelas siang ini. Tak lama pelajaran telah usai membuat seluruh penghuni meninggalkan ruangan, Rafael merapikan terlebih dahulu bawaannya kali ini lalu bergegas keluar ruangan.
“Masuk kerja satu jam lagi terus enaknya sekarang ngapain” Rafael terlihat bingung dengan menyandarkan tubuhnya pada dinding luar kelasnya, padangannya lurus kedepan menatap kesibukan para mahasiswa. Seorang gadis datang menghampirinya dan sengaja mengejutkan.
“Doooor”
“Ya ampun Hana, kamu ini sekali saja gak ngerjain Aku apa gak bisa” Rafael menatap kesal gadis yang dipanggilnya dengan Hana.
“Maaf Raf, Aku itu gak mau saja liha temanKu yang ganteng ini ngelamun sendiri, kalau ada masalah cerita gih sama Aku” ujar Hana.
“Siapa juga yang punya masalah, jadi cewek itu jangan sok tau kamu” Rafael mengacak gemas puncak kepala Hana, membuat Hana menggelembungkan pipi mulusnya.
“Salah ya kalau Aku cuma nebak (?)” tanya Hana dengan wajah polosnya. Rafael terkekeh geli meilhat wajah cantik Hana yang mampu membuat jantung Rafael bekerja tak normal. Sejak awal berkenalan dengan Hana dua bulan yang lalu Rafael sudah jatuh hati kegadis berdarah Belanda-Indonesia ini, wajahnya yang cantik membuat Rafael tak pernah bosan melihatnya.
“Aneh kamu hari ini, perlu dibawa kerumah sakit jiwa biar cepat pulih kali ya” ujar Hana.
“Hemm... udah jangan bercanda terus lebih baik kalau kita belajar bersama ditaman” Rafael.
“Sepertinya seru kalau kita belajar bersama, baiklah kalau begitu kita...” ujar Hana terpotong karena kedatangan seorang pria berpipi chubby.
“Han tadi mama kamu telfon nyuruh Aku buat ngajak kamu pulang bareng, katanya kamu gak bawa mobil”
“Ngga tapi Aku...” lagi dan lagi pria berpipi chubby ini memotong ucapan Hana.
“Kata mama kamu gak boleh menolak, sekarang ikut Aku” Ngga atau Rangga menarik tangan Hana agar ikut dengannya, sedangkan Hana tak dapat menolak karena tau benar bagaimana Rangga. Rafael hanya menatap lemas berlalunya Hana dengan Rangga, setiap begini yang terjadi andai ada Rangga, begitu terlihat kalau Rangga tak suka Hana dekat dirinya.

...
Dua gadis cantik ini bercanda bersama seiring langkah kaki mereka, ada saja hal bisa membuat mereka tertawa hingga membuat wajah putih mereka memerah. Canda tawa hingga membuat tak terasa kalau mereka telah berada dihadapan mobil sedan merah milik Lili.
“Kamu pulang sama Aku saja ya Del, lagian rumah kita juga searah” Lili.
“Gak enak kalau Aku terus-terusan nebeng sama kamu, lebih baik Aku naik angkutan umum saja” tolak Della lembut.
“Della gak asyik tau jadi teman, kalau kamu nebeng sama Aku uang kamu bisa kamu tabung dari pada buat naik angkutan umum” ujar Lili yang terus memaksa Della agar mau ikut dengan dirinya. Della tengah berfikir memang benar kata Lili, namun ada rasa ragu bila harus nebeng Lili setiap saat.
“Udah gak usah banya fikir” Lili membuka pintu mobilnya lalu mendorong pelan tubuh Della agar masuk kedalam mobilnya, senyum puas terpancar dari bibir tipis Lili.
“Aku belum jawab tapi udah main dorong aja, sekarang kamu tau yang gak asyik” ujar Della menatap kesal Lili yang tengah terkekeh geli. Lili tak menjawab melajukan mobilnya menyusuri jalanan menuju rumahnya, gadis ini tak mengantarkan Della pulang terlebih dahulu melainkan mengajak Della main kerumahnya.
“Li seharusnya tadi berhenti sekarang jadi kelewat bukan jalan kerumahKu” Della.
“Main dulu kerumahKu nanti sore Aku antar kamu pulang” ujar Lili santai mendapat anggukan kepala dari Della, yang terpenting untuk Della temannya mau mengantarkan dirinya pulang. Della tak menolak ajakan Lili untuk main pula karena ada alasan, terasa bosan dirumah sendiri tanpa ada teman.
“Mama mah mama” teriak Lili memanggil sang mama saat kakinya memijak lantai ruang tamu rumahnya.
“Gak sopan tau gak usah teriak bisa kali, panggil dengan suara biasa saja mama kamu pasti dengar” Lili menggaruk tengkuk lehernya kikuk karena bingung harus menjelaskan bagaimana pada Della, tak mungkin Lili bilang kalau mama-nya tak mungkin dengar kalau dipanggil dengan suara biasa sedangkan rumah ini begitu luas, nanti bisa dikira Lili sombong memamerkan rumahnya yang mewah ini.
“Mama disini sayang, tumben langsung pulang biasanya juga main dulu” mama Lili datang menghampiri dan menatap Della yang memang sudah dikenalnya sebagai teman sang putri.
“Ada Della juga ternyata” lanjutnya.
“Iya tante tadi Della dipaksa buat Lili main kesini” Della mencium punggung mama dari temannya.
“Iya dong harus dipaksa biar gak Lili terus yang main kerumah kamu, sering-sering juga kamu main kesini” ujar mama Lili.
“Betul itu kata mama” Lili membenarkan kata sang mama.
“Tante Laura bisa saja” ujar Della.
“Ajak masuk sana Della-nya nanti mama bawakan minuman kekamar kamu” perintah tante Laura pada sang putri mendapat anggukan kepala dari Lili, lalu dua gadis cantik ini melangkah memasuki kamar sang pemilik rumah. Tanpa rasa sungkan Della merebahkan tubuhnya diranjang empuk dikamar Lili, begitu berbeda rasanya saat berada dikamar Lili ini dibanding kamarnya sendiri yang bahkan hanya seukuran dengan kamar mandi dikamar Lili.
“Kamu ngantuk ya Del (?)” tanya Lili setelah mengganti seragamnya dengan baju santai.
“Gak terlalu memang kenapa (?)”
“Aku mau cerita sama kamu, tentang hidupKu yang belum kamu ketahui karena Aku saja baru semalam tau kenyataan ini” ujar Lili dengan menundukan kepala. Della merubah posisi-nya yang awalnya rebahan menjadi duduk, menatap aneh Lili yang tengah bersedih.
“Gak asyik beneran ini anak belum cerita udah galau duluan” goda Della berharap Lili dapat terhibur.
“Sebenarnya Aku punya kakak tapi kakak Ku hilang saat umurnya dua tahun, sampai sekarang mama dan papa mencari keberadaan kakak Ku tapi tak kunjung ditemukan. Kita berharap ada kepastian sebenarnya dia masih hidup apa sudah tak ada, bukan seperti ini yang tak tau apa-apa” Lili menitihkan air mata menceritakan apa yang baru saja diketahui semalam pada Della yang sudah dianggap seperti sahabatnya sendiri. Della merengkuh tubuh Lili dalam pelukannya, membiarkan air mata Lili membasahi seragam sekolahnya yang masih melekat ditubuhnya.
“Ternyata kita memiliki masalah yang hampir sama-sama berat. Aku yakin suatu saat Tuhan akan menyelesaikan masalah kita dengan indah, terus berdoa dan berusaha karena Tuhan tak tuli dan tak buta” Della begitu bijak dalam berkata. Lili hanya menganggukan kepala dan masih terisak dalam dekapan Della, entah gadis ini terus menitihkan air mata dari semalam bila mengingat bagaimana kakaknya sekarang, wajar karena dari dulu Lili begitu menginginkan memiliki seorang kakak atau adik.
Bottom of Form

...
Pemuda ini tengah sibuk dengan tugasnya sebagai pelayan disebuah cafe tempatnya bekerja, dari meja satu hingga yang lain secara bergantian Rafael mencatat pesanan pengunjung cafe. Rafael menundukan kepala saat menghampiri setiap pengunjung cafe yang memanggilnya untuk memesan makanan hingga membuatnya tak menyadari sejak awal gadis yang begitu mengenalnya.
“Rafa” guman Hana kecil namun masih terdengar ditelinga Rafael hingga membuat Rafael menatap tak percaya Hana yang datang bersama dengan Rangga dan dua wanita paruh baya, Rangga tersenyum sinis ternyata saingannya tak sebanding dengan dirinya.
“Oh jadi begini pekerjaan teman kamu, Han. Gak nyangka seorang Hana putri dari pengusaha kaya punya teman seorang pelayan cafe, menurut tante apa pantas itu (?)” penuturan Rangga membuat mata Hana dan sang mama membola.
“Hana, apa yang Rangga kata itu benar (?)” tanya mama Hana, sebut saja tante Carolin.
“Memang apa yang Rangga bilang itu benar, tapi Aku tak membenarkan kata Rangga yang bilang kalau Aku tak pantas berteman dengan Rafael” tutur Hana yang membuat tante Carolin tersentak, apa-apaan Hana ini membuat malu saja menurutnya berteman dengan pria kelas bawah yang begitu jauh kelas dengan mereka.
“Mama pokoknya gak mau dengar lagi kamu berteman dengan dia” tante Carolin menatap sinis Rafael yang hanya diam.
“Mama” sentak Hana.
“Kamu udah berani bentak mama, sejak kapan kamu berani tentang mama atau jangan-jangan sejak berteman dengan pria kampungan ini” Hana hanya mampu menggelengkan kepala karena kini amarah sang mama tengah naik pitam hingga membuat tante Carolin tak menyadari kalau mereka kini tengah menjadi perhatian pengunjung cafe.
“Maaf saya memang orang miskin yang tak sejajar dengan kalian tapi saya masih punya harga diri, dan saya juga gak pernah menghasut Hana untuk berani menentang tante” ujar Rafael.
“Hah... gak usah bohong deh Loe, Gue tau banget orang miskin macam Loe berteman dengan Hana hanya ingin morotin harta Hana kan (?)” ujar Rangga begitu sinis.
“Tak selalu orang miskin seperti saya seperti yang kamu kata, kami tak punya apa-apa setidaknya kami masih menjaga harga diri kita agar tak terinjak-injak orang seperti kalian, sekali lagi maaf saya tak ingin membuat masalah. Mau pesan apa (?)” Rafael begitu sopan. Pandai sekali pria ini menutupi rasa sakit hatinya mendapat hinaan dari Rangga dan tante Carolin.
“Maaf jeng saya jadi tak nafsu makan gara-gara keributan ini. Rangga lebik baik kita pulang sekarang, mama tunggu kamu dimobil” mama Rangga yang tengah menahan malu karena menyadari menjadi pusat perhatian pengunjung cafe berlalu begitu saja setelah berpamitan pada tante Carolin.
“Gara-gara kamu semua jadi kacau” tante Carolin pun ikut pergi mengikuti temannya tanpa memperdulikan lagi sang putri.
“Gue akan buat perhitungan dengan yang Loe lakuin hari ini” Rangga dengan perasaan kesal pula pergi berlalu hingga membuatnya tak menyadari kalau Hana masih tetap berada ditempatnya. Rafael hanya diam karena masih merasa sakit hati dengan hinaan dari Rangga dan tante Carolin, meski hinaan itu sering sekali terdengar ditelinganya namun hinaan dari keluarga gadis yang dicintai Rafael membuatnya terluka.
“Maaf atas ucapan mama tadi, mungkin saja mama hanya terhasut dengan kata-kata Rangga” sesal Hana. Rafael hanya tersenyum tipis karena entah mengapa rasa sakit hati itu memutar setelah mendengar lontaran kata maaf dari Hana yang mewakili tante Carolin.
“Yah Aku mengerti mungkin mama Mu hanya terhasut saja” Rafael. Hana merasa lega ternyata Rafael tak marah pada sang mama terutama pada dirinya.
“Masalah Rangga kamu gak usah khawatir, karena Aku yang akan menjamin kalau dia gak akan berani untuk macam-macam ke kamu” tutur Hana.
“Aku ini laki-laki biar semua Aku yang mengatasi sendiri kalau Rangga macam-macam padaKu” Rafael. Hana dan Rafael hanya diam sibuk dengan hati mereka yang terasa aneh, rasa ini rasa yang ada setiap mereka bertemu.
“Eheeeeeem” dehem seorang pria hingga menyadarkan Hana dan Rafael dari lamunannya, Rafael yang tau kalau itu suara sang manajer cafe hanya mampu menundukan kapala karena tau kalau Ia akan terkena marah membuat masalah dan mengobrol pada saat kerja.
“Apa yang kamu lakukan disini, masih banyak pekerjaan yang harus kamu lakukan dibanding harus diam disini” ujarnya.
“Maaf” sesal Rafael.
“Saya tak butuh kata maaf hanya butuh tenaga kamu yang sudah saya bayar” ujarnya lalu pergi dari hadapan Hana dan Rafael.
“Dan lagi karena Aku ada masalah yang datang menghampiri kamu, maaf untuk kesekian kali” Hana benar-benar tak enak hati, masalah karena sang mama saja mungkin masih membekaskan luka dihati Rafael kini karena Hana kembali Rafael terkena masalah.
“Tak apa ini bukan salah kamu. Nona cantik mau pesan apa (?)” ujar Rafael dengan senyuman manis.
“Ishhhh... makasih untuk pujiannya tapi Aku gak ada teman buat makan” Hana tertunduk lesu. Gadis ini memang tak terbiasa makan sendiri karena terasa aneh menurutnya, setiap makan pasti akan ada yang menemani entah itu hanya sekedar menemani makan atau makan bersama, kebiasaan yang aneh menurut saya.
“Lalu bagaimana (?)” tanya Rafael yang ikut merasa bingung dengan gadis dihadapannya.
“Bagaimana kalau kamu saja yang makan disini bersama denganKu” saran Hana dengan mengedipkan sebelah matanya membuat Rafael tersentak kaget dengan apa yang Hana lakukan.
“Kamu ini ada-ada saja, pekerjaan Ku masih banyak tak mungkin menemani Mu makan” tolak Rafael lembut. Hana cemberut mendengar tolakan dari Rafael namun seketika ide cemerlang muncul dibenaknya, pandangan mata Hana mengitari setiap sudut ruangan cafe mencari keberadaan pria yang sempat menegur Rafael, matanya menyipit lalu segera beranjak menuju apa yang telah menjadi obyeknya tadi. Rafael mengkerutkan keningnya karena sejujurnya tak memahami apa yang akan Hana lakukan.
“Apa yang kamu lakukan tadi (?)” tanya Rafael setelah Hana kembali berada dihadapananya.
“Yang Aku lakukan hanya mau kamu menemani Ku makan atau kamu akan dipecat dari cafe ini” ujar Hana dengan senyum genitnya. Tingkah gadis ini benar-benar Rafael gemas melihatnya, hanya dengan senyum tipis Hana saja sudah membuat Rafael bahagian apalagi mendapat perlakuan seperti ini.

...
Hingga malam tiba Lili baru mengantarkan temannya pulang, awalnya Lili tak mau mengantarkan Della pulang karena ingin Della menginap dirumahnya namun Della menolak lembut ajakan Lili, beralasan kasihan dengan sang kakak bila tinggal dirumah sendiri. Akhirnya Lili memutuskan kalau dirinya yang akan menginap dirumah Della, Della mau menolak tapi Lili sudah mengancam tak mau berteman lagi kalau tak mengizinkan.
“Kamu pulang saja sana, yakin deh kalau kamu gak akan tahan tidur dirumahKu” ujar Della menatap lekat Lili.
“Siapa bilang kalau Aku gak tahan (?)”
“Susah banget ngomong sama kamu, Li. Rumah Aku berbeda jauh dengan rumah kamu, apalagi dengan kamarKu yang hanya seukuran dengan kamar mandi kamu” Della begitu merendah membandingkan rumahnya dengan rumah temannya yang memang berbeda jauh dari rumahnya belum lagi tempat tinggalnya ini bukan rumahnya sendiri.
“Gak ada beda-nya kok rumah kamu sama rumah Aku. Rumah itu akan bagus apabila membuat kita nyaman tinggal disana, dan sekarang Aku nyaman ada dirumah kamu” ujar Lili dengan wajah sumringahnya yang menunjukan kalau Ia memang nyaman ketika berada dirumah Della, entah mengapa padahal rumah Della berbeda jauh dengan kondisi rumahnya.
“Terserah kamu saja, pusing Aku bilangin kamu” pasrah Della.
“Kakak kamu mana kok belum pulang juga (?), nanti keburu makanannya dingin”
“Iya tumben belum pulang, kalau lembur juga pasti kak Rafa bilang sama Aku” Della mulai gelisah karena sang kakak tak kunjung pulang, kalau memang Rafael lembur pasti akan bilang pada Della sehingga Della tak akan menunggu Rafael sampai pulang.
“Mungkin macet lagi jadi sampai rumahnya lebih malam” ujar Lili berusaha membuat Della tak gelisah.
“Iya kali karena juga angkutan umum kalau malam susah carinya” Della.
“Kalau sampai jam sepuluh kakak kamu belum pulang kit....” terdengar seorang pria mengucapkan salam didepan sana sehingga membuat Lili menghentikan ucapannya lalu menatap kearah Della yang mengangkat bahu. Della dan Lili beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu utama rumah ini.
“Kak Dicky” ujar Della. Ternyata pemuda yang mengucapkan salam adalah Dicky teman dari Rafael, rumah Dicky memang tak jauh dari tempat tinggal Della dan Rafael sehingga membuat Dicky sering main bahkan menginap dirumah kecil ini.
“Kakak kamu udah pulang Del (?)” tanya Dicky.
“Belum kak” Della. Dicky menganggukan kepala dan melirik gadis yang berdiri disamping Della yang hanya diam, seorang gadis yang begitu asing dipenglihatan Dicky. Dari atas sampai bawa Dicky tau kalau teman Della ini bukan gadis sekitar sini, karena dari penampilan begitu berbeda dengan gadis sekitar rumahnya.
“Kenalin kak Dicky ini Lili dan Li kenalin ini kak Dicky” Della mengenalkan Dicky pada Lili begitu sebaliknya. Mereka saling berjabat tangan mengenalkan nama mereka masing-masing, ada yang aneh dari Dicky entah apa itu yang belum disadari oleh Dicky. Seorang pria dengan senyum terus mengembang dibibirnya datang menghampiri mereka, seorang pria yang sudah tak asing untuk Dicky dan Della berbeda dengan Lili yang baru pertama kali bertemu dengan pria yang tak lain Rafael.
“Tumben ramai begini” ujar Rafael.
“Ramai karena ada tamu cantik ini kak” ujar Della dengan merangkul pundak temannya.
“Ada yang tampan juga loh Raf yaitu Gue” ujar Dicky yang lalu mendapat toyoran dari Rafael.
“Tampan kata Loe tapi gak dapat-dapat pacar juga” ledek Rafael. Lili hanya diam sembari menatap lekat wajah tampan Rafael, nyaman dan begitu tenang saat menatap Rafael, apa mungkin Lili jatuh cinta pada pandangan pertama pada kakak temannya, dengan cepat Lili membuang rasa itu jauh-jauh.
“Kalian ini sudah tua juga tapi masih saja ribut” Della melerai adu mulut antara Rafael dan Dicky.
“Oh yah... Li kenalin ini kak Rafael, kakak yang paling Aku sayang” Della. Rafael dan Lili tersenyum mendengar penuturan Della yang menunjukan kalau Della benar-benar begitu menyayangi Rafael, hanya Rafael lah satu-satunya keluarga yang dimiliki Della jadi wajar kalau Della begitu menyayangi Rafael.
“Rafael”
“Lili”
Saling berkenalan satu sama lain dan berjabat tangan seperti yang Dicky dan Lili tadi lakukan. Hati mereka berdua sama-sama bergetar hebat, ada apa ini kenapa saat mereka saling bertatapan ada rasa yang begitu nyaman, mereka sama-sama tak ingin melepas pandangan ini.
“Tuhan tatapan mata ini lebih tenang dibanding menatap mata Hana, jantung ini pula lebih berdetak kencak saat disampingnya, apa Aku (?)” batin Rafael bergejolak. Apa mereka telah jatuh cinta pada pandangan pertama dan apa cinta Rafael untuk Hana telah lenyap saat bertemu dengan Lili. Della dan Dicky hanya diam dan menatap aneh Rafael dan Lili yang tak melepas jabat tangan mereka, keanehan ini begitu disadari oleh Della dan senyum tipis tergurat dibibirnya.
“Eheeee...” dehem Della membuat Rafael dan Lili seketika melepas jabat tangan mereka. Lili menundukan kepala merasa malu dengan apa yang telah terjadi, sedangkan Rafael mengusap tengkuknya untuk mengekspresikan rasa malunya.
“Dapat saingan deh Gue” ujar Dicky lesu membuat Della yang mendengarnya terkekeh geli.
“Saingan buat rebutin siapa dan siapa saingan Loe (?)” tanya Rafael yang belum menyadari ucapan Dicky tadi.
“Loe itu tampan Rafael tapi kenapa punya otak gak buat mikir” kesal Dicky.
“Sudah-sudah kita masuk kalau mau ribut didalam” Della masuk kedalam rumahnya diikuti Dicky, sedangkan Rafael dan Lili hanya diam ditempat mereka, entah mengapa rasanya kaki mereka sulit sekali digunakan untuk melangkah.
“Masuk yuk” ajak Rafael dengan menarik tangan Lili tanpa sadar. Lili menatap tangannya namun tak ada niatan untuk melepas genggaman Rafael karena jujur Ia merasa nyaman berada didekat Rafael. Hingga dimeja maka Rafael belum melepas genggamnya pada tangan Lili, membuat Dicky yang melihatnya merasa kesal, sedangkan Della hanya tersenyum.
“Cantik dan tampan pasangan yang serasi. Aku restui kalau kak Rafa pacaran sama Lili, karena Aku tau kalau Lili gadis yang baik” tutur Della yang semakin membuat Dicky terbakar api cemburu. Rafael pun tersadar lalu melepas genggamannya dan salah tingkah sendiri. Ada apa dengan Rafael (?) semua berbeda dengan yang dirasa Rafael saat bersama Hana. Apa rasa itu benar-benar telah berpaling (?). Berbagai macam pertanyaan berputar dalam hati Rafael.
“Kalian mau makan atau mau berdiri terus (?)” tanya Dicky ketus karena Rafael dan Lili tak kunjung duduk. Rafael dan Lili pun duduk berdekatan, karena memang kusri yang kosong tinggal dua kusri yang berdekatan. Dicky semakin cemburu melihatnya, ingin sekali dirinya yang duduk disamping Lili bukan Rafael.
“Makin panas saja, dibanding panas-panas lebih baik kita makan” canda Della. Mereka menikmati makanan dihadapan mereka, sebelum makan Rafael sempat bertanya pada adiknya dari mana semua makanan ini (?) dan Rafael pun tau kalau semua makan ini dari Lili, semakin menambah nilai ples untuk Lili dimata Rafael, gadis yang baik tanpa pandang status. Saat makan tak jarang Rafael dan Lili saling pandang dan tersenyum, membuat Dicky yang lagi-lagi melihatnya merasa cemburu, Della hanya terkekeh melihat tingkah aneh Dicky.

BERSAMBUNG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar