Minggu, 18 Agustus 2013

Be The One part 3



Bottom of Form

***
Siang menjelang dan matahari begitu teriknya bersinar, meski matahari bersinar dengan cerahnya tak membuat gadis ini ragu untuk berpanas-panasan. Pandangan matanya kesana sini mencari sosok pemuda yang tak ditemui nya sejak kelasnya usai. Berulang kali Hana melirik jam yang melingkar dipegelengan tangannya, belum waktunya Rafael masuk kerja jadi masih ada kemungkinan Rafael masih dikampus.
“Ehh ada Hana yang cantik jelit” Hana tersenyum mendengar pujian dari Dicky. Dicky memang satu kampus dengan Hana dan Rafael, Dikcy pun dekat dengan Hana namun tak sedekat Hana dan Rafael.
“Kebetulan ada kamu. Mau tanya lihat Rafael gak (?)” tanya Hana. Dicky pun celingak celinguk kesana kemari mungkin saja terlihat batang hidung Rafael yang sejak pagi tak bertemu dengan Dikcy.
“Biasanya juga sama kamu, Han. Aneh aja kalau kamu tanya Rafael sama Aku, lagian yang satu kelas sama dia itu kamu bukan Aku” ujar Dicky.
“Emmm... iya juga sih tapi tadi seusai kelas selesai Aku langsung keluar udah kebelet ketoilet soalnya” ujar Hana yang diakhiri dengan cengiran karena merasa malu bercerita dengan Dicky alasannya keluar terlebih dahulu dari kelas, sedangkan Dicky terkekeh kecil mendengar penuturah Hana yang terlalu jujur.
“Tapi tumben aja itu anak gak kelihatan batang hidungnya. Kerja ? sepertinya gak mungkin karena semalam dia bilang kalau hari ini libur” Dicky ikut bingung dengan tak munculnya Rafael dihadapan mereka. Ada angin apa tiba-tiba saja Rafael seperti orang hilang yang sulit untuk diketemukan, atau memang Rafael sengaja menghindar agar tak bertemu dengan Hana.
“Hai sayang” seorang pria berpipi chubby datang dan merangkul bahu Hana, membuat Hana merasa risih.
“Kamu ini apa-apaan sih Ngga, malu tau dilihat sama anak-anak kampus lain” Hana melepaskan tangan Rangga yang tengah merangkul bahunya.
“SayangKu, biar saja mereka bilang apa yang penting kita bahagia” ujar Rangga.
“Loe kali yang bahagia kalau Hana Gue yakin nek banget lihat muka Loe” ujar Dicky kesal melihat tingkah Rangga yang begitu berlebihan saat berada didekat Hana, seolah Hana miliknya padahal juga Hana selalu menolak mentah-mentah perlakuan Rangga yang sok manis.
“Gak usah ikut campur urusan Gue, mending Loe bergaul sama teman Loe yang sama-sama sok itu” Rangga menatap sinis Dicky.
“Loe memang orang kaya paling sombong didunia, pantas saja Hana menolak mentah-mentah cinta Loe” Dicky berlalu dari hadapan Rangga dengan menarik Hana agar ikut dengannya. Rangga mendengus kesal akan ulah Dicky yang membawa Hana pergi begitu saja, padahal Rangga masih ingin berlama-lama menatap wajah cantik gadis yang dicintai.

***
Pria tampan ini tengah fokus membaca buku tebal dihadapannya sembari menghilangkan rasa bosan karena sang adik tak kunjung keluar dari kelasnya, karena terlalu fokus hingga membuat Rafael tak sadar kalau banyak teman sang adik yang sudah berhambur keluar, itu bertanda kalau jam pulang sekolah sudah bergema. Della dan Lili masuk kedalam mobil begitu saja dan Rafael tersadar dari keasyikannya yang sibuk dengan buku tebalnya.
“Untung saja mobilnya gak kakak kunci otomatis jadi kita bisa langsung masuk” ujar Della yang duduk dijok belakang sendiri.
“Maaf tadi kakak terlalu fokus sama bacaan” sesal Rafael.
“Apa maaf bisa menghilangkan peluh yang mengalir dengan deras dikening ini” Della menunjukan keningnya yang memang tengah basah karena peluh yang terus mengalir dengan deras.
“Terus kalau kamu keringetan kakak yang salah, padahal juga kamu kepanasan bukan karena kakak” ujar Rafael lalu menyalakan mesin mobil dan melajukannya.
“Iya juga sih” Della akhirnya menyadari kalau dirinya salah telah menyalahkan sang kakak. Lili menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya yang memang suka terlihat aneh, tak kalah aneh dengan dirinya.
“Kita mau langsung pulang atau bagaimana (?)” tanya Rafael.
“Kita makan dulu dicafe yang tak jauh dari kampus kakak bisa kan (?)”
“Cafe apa memang (?)” tanya Rafael.
Rumah coklat Safa, cafe yang menjual segala makanan dengan menu cokelat” tutur Lili. Gadis ini begitu suka dengan makanan yang berbau dengan cokelat, memiliki kesamaan yang tak direncanakan dengan Rafael.
“Cafe itu tempat kak Rafa kerja bukan (?)” tanya Della yang mulai buka suara lagi.
“Iya itu tempat kerja kakak. Wah... kalau kesana kakak mau banget tapi makanan disana mahal-mahal, lebih baik kita makan diwarung dipinggir jalan” Rafael seolah takut kalau mereka makan disana Rafael tak akan sanggup untuk membayarnya.
“Maaf kakak bukannya Aku menolak untuk diajak makan dipinggir jalan, tapi kali ini memang Aku sengaja buat traktir kalian untu makan disana, kalian mau yah” ujar Lili dengan tampang memelasnya berharap Della dan Rafael menerima ajakannya. Della mengangkat bahu karena semua terserah sang kakak yang mau ikut apa tidak dengan ajakan Lili.
“Kali ini saja kakak mau” Lili menyatukan telapak tangannya memohon agar Rafael mau menerima tawarannya. Pada akhirnya Rafael menganggukan kepala, menerima ajakan dari Lili. Entah awalnya ragu namun ketika Lili terus memaksa membuat Rafael menurut saja.
“Kamu suka sama cokelat (?)” tanya Rafael.
“Suka dan malahan suka banget tau kak, kalau kakak (?)” jawab dan tanya Lili begitu antusias ketika mendengar kata cokelat.
“Kak Rafa juga juga suka cokelat tau Li, wahh... sepertinya kalian memang berjodoh” goda Della membuat Lili tersipu malu mendengarnya.
“Amin” belum lagi ketika Rafael mengamini candaan dari Della semakin membuat Lili tersipu malu. Jarak yang tak terlalu jauh membuat mereka kini telah sampai dirumah Coklat Safa, mereka berjalan beriringan masuk kedalam cafe. Memesan makanan yang sama dan bergurau bersama menghabiskan pesanan mereka yang sudah didepan mata.
“Gadis ini lebih manis dan senyumnya mampu membuatKu lupa dengan Hana” batin Rafael. Rafael menatap hingga tak berkedip Lili yang tengah tertawa bergurau bersama dengan Della, tak jarang Rafael salah tingkah saat Lili meliriknya dan tersenyum tipis.

***
Hana dan Dicky yang tak kunjung bertemu dengan Rafael dikampus memutuskan datang menghampiri Rafael dirumahnya, tak mungkin mereka datang ketempat kerja Rafael karena semalam Rafael bilang sendiri pada Dicky kalau hari Ia libur. Berulang kali Hana mengetuk pintu dan mengucapkan salam tapi tak kunjung ada yang membuka pintu.
Tok... Tok.. Tok... Assalamualaikum”  masih saja tak ada yang membuka pintu dan membuat Hana dan Dicky saling pandang dan Dicky menggelengkan kepala tak tau.
“Apa mungkin Rafael belum pulang tapi kemana dia (?)” tanya Hana entah pada siapa karena Dicky pun sejak awal tak tau kemana Rafael. Hana kembali mengetuk pintu kayu itu namun tetap saja tak ada sautan atau pintu kayu itu terbuka.
“Saya lihat dari tadi belum ada yang pulang, mungkin Rafael masih kerja dan Della disekolah” ujar seorang wanita megejutkan Dicky dan Hana, lalu mereka menatap wanita itu.
“Makasih yah bu” ujar Dicky berterima kasih dan ibu-ibu itu hanya tersenyum lalu pergi dari hadapan mereka. Seketika Hana diam, kalau Rafael bdikampus tak ada, ditempat kerja juga tak mungkin karena libur, dan sekarang dirumah juga Rafael tak ada. Sebenarnya kemana Rafael atau jangan-jangan ?, Hana cukup yakin kalau ini semua pasti berhubungan dengan Rangga.
“Dik, Aku mau pulang dulu mungkin Rafael sekarang sibuk jadi gak mau ditemui dulu” Hana berpamitan pada Dicky
“Hati-hati yah Han” pesan Dicky dan Hana mengacungkan jempolnya dan melangkah menjauh dari Dicky. Pikiran Hana kini kacau, takut kalau memang terjadi apa-apa dengan Rafael dan itu karena ulah Rangga. Hana meraih ponsel dalam tasnya lalu menghubungi seseorang.
Via Telfon.
“Dimana kamu (?)” tanya Hana to the point tanpa berbasa-basi pada Rangga.
“.......”
“Aku mau kerumah kamu awas aja kalau pergi”
“.......”
“Gak usah Gue bisa jalan sendiri” Hana memutuskan sambungan telfonnya karena terlalu muak berbicara lama-lama dengan Rangga meski hanya dengan media. Tak perlu berlama-lama menunggu taksi yang lewat kini sudah taksi yang siap mengantar Hana kerumah Rangga. Hana berusaha meyakinkan dirinya kalau tak akan terjadi apa-apa dengan Rafael.

***
Perut sudah terisi dengan kenyang dan mereka memutuskan untuk segera keluar dari Rumah Coklat Safa, dan Rafael sebagai sang pengemudi mobil melajukan menuju arah pulang. Mereka terus saja bergurau, tak jarang Della mengoda Lili dan Rafael yang terlihat malu-malu. Pipi Lili sudah bersemu merah membuatnya mendukan kepala merasa malu bila Rafael melihatnya, namun berbeda dengan Della yang tau masih saja terus mengoda Lili.
“Dek udah kasihan tau” ujar Rafael. Seketika membuat tawa Della membeludak karena sang kakak yang selalu membela Lili.
“Hahaha cie yang dibelain terus, makin cinta itu kelihatannya hahaha” goda Della dengan tertawa puas sembari memegang perutnya yang terasa sedikit sakit efek terlalu banyak tertawa.
“Terserah kamu dan sekarang diem jangan buat kakak gak fokus nyetir” pandangan Rafael lurus kedepan, fokus dengan kemudinya karena keadaan jalan yang banyak kendaraan yang berlalu lalang, apalagi sering terjadi mobil berhenti mendadak membuat Rafael harus fokus.
“Ahh.. gak fokus nyetir karena Aku berkicau terus apa karena gadis yang duduk disamping kakak” goda Della yang semakin menjadi-jadi membuat Lili dan Rafael geram. Lili memutar tubuhnya menghadap Della lalu tangan kirinya terangkat menjitak pelah kening Della, hingga membuat Della sedikit meringis kesakitan.
“Bisa diem atau sepatu Aku yang akan buat kamu diem” ujar Lili dengan ancaman. Della memanyunkan bibirnya mendengar ancaman dari Lili, meski Della tau kalau itu hanya gertakan saja dan tak mungkin Lili akan melakukan itu pada dirinya.
“Sepatu kamu gak mempan buat nutup mulut Aku, kasih saja Aku contekan tugas sekolah pasti Aku tutup mulut tentang kedekatan kamu dan kak Rafa” seperti ini ceritanya Della benar-benar tak mau berhenti untuk menggoda Lili dan Rafael. Lili yang ingin membalas ucapan Della mengurungkan niatnya karena I-Phone nya berdering, tangan kanannya mengambil I-Phone bermerek apel digigit bagian atasnya itu lalu menempelkan I-Phone tersebut ditelinganya.
Via Telfon.
“Assalamualaikum mah”
“........”
“Yah sudah Aku juga mau pulang ini, sama Della juga kok”
“.......”
“Kalau Della mau diajak kerumah pasti Aku ajak mama Ku sayang”
“.......”
“Waalaikumsalam” sambungan Via Telfon ini pun berakhir dan Lili kembali memasukan I-Phone nya ketempatnya kembali. Menatap Rafael dan Della secara bergantian lalu tersenyum ragu.
“Mama kamu yang telfon (?)” tanya Rafael dan melirik Lili sekilas.
“Iya dan mama minta Aku buat ajak Della kerumah karena papa baru pulang dari luar negri” tutur Lili membuat Della dan Rafael merasa aneh. Kenapa papa Lili ingin bertemu dengan Della padahal mereka saja belum pernah ketemu, karena memang papa Lili banyak menghabiskan waktunya diluar negri untuk mengurusi bisnisnya.
“Aku saja tak pernah bertemu dengan papa kamu, kenapa tiba-tiba saja papaMu yang baru pulang dari luar negeri ingin bertemu denganKu (?)” tanya Della bingung.
“Mana Aku tau coba, lebih baik kalian ikut saja dengan Aku kerumah sekalian mengenalkan kak Rafa sama mama” tutur Lili. Rafael yang mendengarnya merasa ragu, merasa takut apabila orang tua Lili melarang dirinya berteman dengan Lili, seperti hal yang dilakukan oleh tante Carolin selaku mama Della.
“Ide bagus. Kalau kak Rafa ikut bisa ketemu sama calon mertua” Della setuju dengan perkataan Lili yang pada akhirnya memang bertujuan untuk mendekatkan Lili dan Rafael.
“Gak usah macam-macam kamu, lagian kakak sama Lili belum ada hubungan apa-apa” ujar Rafael. Mendengar penuturan Rafael membuat Lili sedikit terkejut, benar kata Rafael mereka tak ada hubungan apa-apa, tak ada guna-nya mengenalkan Rafael pada orang tuanya, tapi entah Lili ingin sekali mempertemukan Rafael dengan orang tuanya.
“Sekarang memang tak ada hubungan apa-apa, tapi nanti siapa coba yang tau. Sudahlah kita ikut saja sama Lili sekalian kita ucapkan terima kasih sama tante Laura karena kemarin memberi kita makanan” ujar Della memaksa sang kakak agar mau ikut bersama dengannya dan Lili. Untuk kesekian kali Rafael akhirnya mau mengikuti keinginan Lili meski itu awalnya berasal dari sebuah paksaan, Rafael yang mau membuat Della sumringah tak terkecuali Lili.

***
Hana memberikan dua lembar uang seratus ribuan pada sang supir taksi, lalu Ia melangkah mendekat kepintu mewah rumah utama keluarga Soekarta. Terasa malas untuk menekan bel rumah ini karena pasti Hana akan bertemu dengan Rangga, tapi apa boleh buat Hana harus tanya pada Rangga tentang Rafael yang tiba-tiba sulit untuk ditemui. Seorang pria berpipi chubby sudah berdiri dengan manis dihadapan Hana saat Hana baru ingin menekan bel rumah ini.
“Hai sayang sudah datang ternyata” sapa Rangga manis membuat Hana tersenyum kecut.
“Masuk dulu kita bicara didalam saja” tawar Rangga dan mendapat gelengan kepala dari Hana.
“Aku mau to the point saja sama kamu, karena Aku tak mau berlama-lama berhadapan dengan pria egois sepertiMu. Apa yang kamu lakukan sama Rafael (?), sampai Aku sulit bertemu dengannya” Rangga tersenyum puas ternyata Rafael takut juga akan ancamannya, dan kini Rangga tau benar kalau kelemahan Rafael ada pada adiknya.
“Aku gak pernah melakukan apa-apa sama Rafael, sayangKu” ujar Rangga.
“Bohong... mustahil kamu tak melakukan apa-apa sama Rafael hingga membuatnya menghindari dariKu” sentak Hana penuh amarah karena Rangga tak mau mengakui kesalahan yang telah diperbuat hingga membuat Hana sulit bertemu dengan Rafael.
“Gak usah marah-marah sama Aku sayang. Seharusnya kamu bersyukur jauh dari Rafael, pria yang hanya bisa membuatMu susah dan malu”
“Bersyukur kata kamu, dan Aku akan lebih bersyukur kalau kamu berhenti buat ikut campur hidupKu” Hana.
“Kenapa selalu Rafael, Rafael dan Rafael yang kamu fikirkan. Lihat Aku, Aku pria yang punya semua. Aku yang selalu melakukan apa saja untuk kamu, tapi apa (?) apa (?) kamu hanya anggap Aku sebagai duri dalam hidup kamu” sentak Rangga yang sudah tak tahan dengan Hana yang selalu mengacuhkan dirinya dan lebih memilih Rafael yang ada apa-apanya dengan Rangga. Hana hanya diam karena takut mendapat bentakan dari Rangga dan apalagi Rangga menatap Rangga dengan tatapan seperti ingin menerkam Hana hidup-hidup.
“Terserah kamu kalau ingin terus bersama Rafael, tapi satu yang harus kamu ingat Rafael dan kamu gak akan bahagia kalau bersatu” tak ingin emosinya semakin naik pitam hingga membuatnya berbuat kasar pada Hana sehingga Rangga memutuskan untuk berlalu pergi. Baru kali ini Rangga membentak Hana, memang salah Hana yang selalu membuat Rangga tersulut emosi tapi Rangga terlalu terobsesi membuat Hana dibuat muak dengan semua ini.

***
Tiga insane manusia ini ternyata sudah disambut sepasang suami istri ini. Lili yang sudah lama tak bertemu dengan sang papa, dengan tak berlama-lama membuang waktu gadis ini berhambur memeluk sang papa, meluapkan semua rasa rindu yang selama ini terpendam. Tante Laura menatap tak berkedip pria yang berdiri disamping Hana, baru awal bertemu tapi entah mengapa seperti sudah pernah bertemu dengan Rafael.
“Sore tante” Della mencium punggung tangan tante Laura dan mendapat balasan sebuah senyum kecil. Tante Laura kembali fokus menatap wajah Rafael yang benar-benar tak asing untuknya. Rafael yang menyadari tante Laura yang menatapnya terus membuatnya merasa aneh sendiri.
“Apa kita pernah bertemu (?) karena saya merasa sudah tak asing dengan kamu” tante Laura bertanya pada Rafael membuat Lili melepas pelukannya dengan sang papa. Suami tante Laura menatap Rafael, hal yang sama seperti yang tante Laura rasa, sepertinya mereka juga pernah bertemu tapi entah dimana.
“Seingat saya kita masih pertama bertemu tante, mungkin tante salah orang” ujar Rafael. Tante Laura menatap putrinya yang tengah mengangkat bahu karena memang tak tau apa sang mama pernah bertemu dengan Rafael apa belum.
“Siapa nama kamu (?)” tanya papa Lili.
“Rafael” mata orang tua Lili melotot mendengar laki-laki tampan ini menyebut namanya, entah apa yang terjadi sehingga membuat dua orang paruh baya ini terkejut.

Bottom of Form

***
Malam menjelang, Hana menuruni anak tangga rumahnya dengan malas. Gadis cantik ini masih merasa kesal dengan Rangga, apalagi Hana masih terfikirkan dengan Rafael yang tak ada kabar. Tante Carolin yang sudah duduk manis dimeja makan menatap sinis Hana, seolah kini tante Carolin begitu membenci sang putri.
“Hana, kamu jangan membuat malu mama dengan marah-marah pada Rangga, apalagi kamu marah-marah didepan rumah tante Yudith. Mau kamu taruh dimana wajah mama ini hah (?)” sentak tante Carolin penuh amarah saat Hana baru saja duduk dihadapannya. Hana hanya melirik sekilas tante Carolin tanpa berucap, sesungguhnya Hana masih merasa kesal dengan tante Carolin yang selalu mengatur hidupnya.
“Jawab mama jangan diam saja” sentak tante Carolin.
“Mama” ujar om Wijaya yang baru saja berada diruangan makan ini.
“Papa diam saja karena ini urusan mama dan Hana” ujar tante Carolin.
“Urusan kalian juga urusan papa, jangan sekali-kali mama membentak Hana karena rasa gengsi mama” ujar om Wijaya penuh penekanan. Tante Carolin tersenyum sinis, berani sekali sang suami marah-marah padanya, apa tak ingat dengan mudah Ia dapat merubah hidupnya.
“Papa diam atau....”
“Atau apa mah (?) mama mau ancam papa terus itu gak akan mempan mah” ujar om Wijaya lalu pergi dari ruang makan entah kemana. Ingin sekali rasanya Hana menangis, menangis melihat orang tuanya yang selalu ribut. Sang mama yang notabennya keras kepala tak mau mengalah, sedangkan sang papa yang terkesan cuek membuat semakin memperumit masalah.
“Mama bisa gak sekali saja jangan merusak suasana, selalu mama menimbulkan masalah disetiap saat. Hana lelah mengikuti semua keinginan mama. Hana capek dengan sikap keras kepala mama yang selalu mau menang sendiri. Hana muak melihat mama yang selalu berusaha mendekatkan Hana dengan Rangga, padahal mama tau sendiri kalau dari dulu Hana gak pernah suka dengan Rangga. Dan Hana lebih muak lagi saat mama menghina Rafa terus menerus” tutur Hana mengungkapkan semua sakit hatinya pada sang mama.
“Oh... sekarang mama tau kalau laki-laki miskin itu sudah mencuci otak kamu, hingga kamu berani menentang mama” ujar tante Carolin lalu beranjak dari duduknya dan bersendekap dada, memasang wajah yang begitu angkuh.
“Cukup... cukup mama hina Rafa dan bilang yang tidak-tidak tentang dia. Bukan Rafa yang membuat Aku menentang mama, tapi itu karena sikap mama sendiri” Hana tak terima tante Carolin terus saja menyalahkan Rafael, padahal sudah jelas kalau Hana seperti ini karena ulahnya sendiri.
“Terus saja bela pria miskin itu dan sekalian kamu ikut dia, angkat kaki dari rumah ini” mata Hana membola mendengar penuturan tante Carolin yang terakhir, dengan gampangnya sang mama mengusirnya dari rumah ini, mau tinggal dimana Hana kalau harus keluar dari rumah, tapi mungkin dengan keluar dari rumah ini Hana dapat terbebas dari kekangan sang mama.
“Oke kalau itu mama, Aku akan pergi dari rumah ini malam ini juga. Mungkin dengan keluarnya Hana dari rumah, mama dapat sadar dengan apa yang mama lakukan dan berubah” Hana beranjak pergi meninggalkan sang mama yang mematung, mematung tak percaya kalau Hana benar-benar melakukan apa yang diinginkan, padahal tante Carolin awalnya hanya ingin menggeretak Hana, tapi tante Carolin yakin kalau Hana tak akan bertahan lama meninggalkan rumah.
“Mama tau kalau kamu gak akan bertahan lama, apalagi semua kartu kredit kamu masih atas nama mama dengan mudah mama memblockir semuanya” tante Carolin tersenyum meremehkan, meremehkan Hana yang terlalu percaya bisa hidup diluar sana tanpa bantuannya.

***
Diam, Rafael hanya diam sejak kembali dari rumah Lili. Entah mengapa saat berada dalam rumah Lili, Rafael merasa damai dan nyaman tinggal lama disana, apalagi baru melihat orang tua Lili yang terkesan begitu ramah. Benar-benar aneh, mengapa baru saja berkenalan Lili dan keluarganya begitu mudah dekat Rafael.
“Ada apa ini Tuhan (?)” tanya Rafael dengan mengusap wajah tampannya, merasa bingung dengan apa yang terjadi sekarang. Apa semua karena cinta hingga membuat Rafael nyaman berada didekat Lili dan keluarganya, atau karena hal yang lain ? entah biar saja waktu yang menjawab.
“Hey Raf kemana saja Loe seharian, sudah seperti orang hilang saja sulit untuk diketemukan” ujar Dicky yang datang menghampiri Rafael dan duduk disamping Rafael. Rafael melirik sekilas kearah Dicky dan tersenyum mendengar sedikit candaan dari Dicky.
“Gue gak kemana-mana Dik, lagian ada urusan apa Loe cari-cari Gue (?)” jawab dan tanya Rafael.
“Bukan Gue yang cariin Loe tapi Hana” ujar Dicky yang membuat Rafael tersentak ketika mendengar nama Hana. Rafael merasa rindu seharian tak bertemu dengan Hana, tapi Rafael juga ingat dengan ancaman Rangga yang tak mungkin main-main.
“Loe tau Hana khawatir banget sama Loe yang sama sekali gak keliatan batang hidungnya, tadi siang dia juga cari Loe kerumah tapi sama aja Loe gak ada. Sebenarnya pulang ngampus Loe kemana” Dicky. Rafael ragu bercerita pada Dicky kemana dia sebenarnya seharian ini, karena Rafael tau kalau Dicky akan merasa cemburu andai tau kalau Rafael menghabiskan waktu seharian bersama Lili.
“Gue... Gue... gue kerja kok Dik” dusta Rafael. Dicky menautkan alisnya, bukannya kemarin malam Rafael bilang sendiri kalau hari Rafael akan libur kerja tapi kenapa Rafael bilang kalau hari ini Ia masuk kerja, dan perkataan Rafael yang terkesan gugup membuat Dicky curiga, pasti ada yang disembunyikan Rafael pada Dicky.
“Gak usah bohong Loe sama Gue. Jujur saja kemana Loe seharian ini (?), Gue gak akan marah kalau Loe jawab jujur” ujar Dicky yang percaya dengan jawaban Rafael tadi.
“Gue gak bohong DikDok” kesal Rafael karena Dicky terus-terusan mendesaknya mengatakan yang sejujurnya. Dicky mendengus kesal karena Rafael tak mau cerita yang sebenarnya, tapi ya sudah Dicky tak bisa memaksa Rafael untuk menjawab jujur, tak semua masalah Rafael bisa Dicky ketahui. Mereka bergurau bersama ditengah gelapnya malam, ditemani dengan suara-suara hewan malam.

***
Pria berpipi chubby memukul kesal stir mobilnya, merasa kesal karena untuk kesekian kali mobilnya mogok pada tempat yang tidak tepat. Rangga keluar dari mobilnya dengan langkah gontai, dengan pengaruh minuman haram membuat pria ini tak sadar dengan apa yang terlontar dari bibirnya. Satu kata kotor terlontar dari bibirnya saat Rangga melintasi sekumpulan pria bertubuh kekar dengan penampilan yang menyeramkan, sekumpulan pria ini mendengar dengan jelas apa yang baru saja terlontar dari bibir Rangga dan pasti mereka tak terima.
“Berani Loe sama kita hah” sentak salah satu preman membuat Rangga mendongakan wajah tampannya yang tertunduk. Rangga tersenyum sinis, menatap marah orang yang sudah berani membentak dirinya.
“Buat apa Gue gak berani sama pria miskin macam Loe semua” ujar Rangga dengan nada suara meremehkan membuat para preman yang berjumlah empat orang ini mengepalkan tangan mereka, menatap dengan tatapan membunuh pada Rangga, sedangkan yang ditatap hanya bersikap biasa seolah tak takut dengan tatapan seram empat preman ini.
Bukkkk... Bukkkk... Bukkkkkk... beberapa pukulan mendarat ditubuh Rangga, sama sekali tak ada balasan dari Rangga yang sudah tak berdaya, empat pria ini terus saja memukuli tubuh Rangga yang sudah terkulai lemas tak berdaya. Seorang gadis yang melintas membolakan mata melihat para preman memukuli tubuh Rangga, hingga membuatnya merasa iba dan segera menolong Rangga.
“Stop atau saya akan teriak dan para warga akan memukuli kalian” teriak gadis ini membuat empat preman ini meninggalkan tempat dengan segera. Gadis ini mengusap bercak darah disudut bibir Rangga. Meski tak berdaya namun Rangga masih sadar dan dapat melihat gadis yang sudah menolongnya, sebuah senyum tipis sebagai ucapan terima kasih untuk gadis ini, lalu Rangga tak sadarkan diri.
“Hey sadar” gadis ini menepuk pelan pipi Rangga, tapi sama saja Rangga tetap sadarkan diri.
“Ini bukannya pria tadi pagi, malas sekali Aku menolongnya tapi kasihan juga kalau dibiarkan” fikir gadis ini, dengan perasaan kasihan gadis ini memutuskan membawa Rangga kerumahnya, bantuan warga sekitar membuat gadis ini bisa membawa Rangga pulang.

***
Ditengah gelapnya malam Hana terus melangkah tak tau kemana. Bingung harus kemana sekarang dirinya, ingin Hana menginap dirumah Rafael tapi itu tak mungkin, yang ada sang mama akan semakin membuat hidup Rafael hancur. Karena lelah Hana memutuskan untuk duduk ditrotoar jalan yang dilintasi, jarang sekali mobil yang berlalu lalang ditempat ini. Merasa dingin pada malam ini Hana mengosok-gosokan kedua tangannya, sehingga menimbulkan sedikit panas yang bisa menghangatkan tubuh.
“Malam ini harus kemana Aku. Tempat ini begitu gelap, Hana takut pah” ujar Hana. Gadis ini memang takut dengan kegelapan, tapi kali ini harus bisa melawan rasa takutnya. Hana menenggelamkan wajah cantiknya diatas kakinya yang sengaja ditekuk, air mata perlahan mengalir.
“Kak Hana” ujar seorang gadis membuat Hana mengangkat wajah cantiknya yang sudah berderai air mata, Hana tersenyum tipis saat tau siapa gadis yang memanggil namanya.
“Kak Hana kenapa disini (?)”
“Kakak... kakak pergi dari rumah, Li” tutur Hana pada gadis yang ternyata Lili, seorang gadis yang baru tadi pagi dikenalnya.
“Kakak belum dapat tinggal pasti, dan lebih baik kakak tinggal dirumahKu” ajak Lili.
“Kita baru saja berkenalan, tapi kenapa kamu dengan mudah memberikan tawaran pada Aku untuk tinggal dirumah kamu” ujar Hana.
“Karena Aku tau kakak itu orang yang baik, yuk kakak dingin tau lama-lama disini” Lili menarik pergelangan tangan Hana agar mau ikut dengan dirinya. Hana hanya menurut, mungkin untuk malam ini Hana dapat menginap dirumah Lili dan besok Hana dapat mencari tempat tinggal.

***
Om Wijaya begitu marah pada sang istri, begitu bodohnya sang sitri mengusur putri mereka, apa tak memikir hari sudah malam dan mau tinggal dimana Hana nanti. Om Wijaya benar-benar takut akan terjadi apa-apa dengan Hana. Bukannya mengaku salah mendapat amarah dari om Wijaya, tante Carolin justru bersikap santai saja karena Ia yakin Hana akan segera kembali.
“Kamu itu sama sekali gak punya hati. Hana itu seorang gadis bagaimana kalau ada yang berbuat macam-macam sama dia (?). Baru kali ini saya melihat wanita yang sama sekali tak mengkhawatirkan putrinya yang lontang-lantung dijalan malam hari” om Wijaya mengusap kasar wajahnya yang tengah resah.
“Sudah nanti Hana juga kembali” ujar Tante Carolin dengan membolak-balikan masalah fashion  dihadapannya.
“Kalau Hana malam ini juga gak kembali apa kamu mau tanggung jawab bila terjadi sesuatu dengan dia (?), lama-lama tingkah kamu semakin tak karuan saja” ujar om Wijaya penuh penekanan. Tante Carolin menatap sinis om Wijaya, kesal karena sang suami terus memojokan dirinya.
“Angkat saja kaki dirumah ini bila kamu sudah muak melihat tingkahKu”
“Tanpa kamu minta Aku akan pergi meninggalkan Mu, hidup saja sendiri dirumah ini” om Wijaya berlalu meninggalkan tante Carolin keluar rumah.
“Dasar dikira Aku akan terpengaruh dengan gertakan kalian, besok lihat saja pasti kalian berdua akan kembali kerumah ini. Bapak sama anak sama saja” wanita paruh baya ini masih saja menganggap kalau anak beserta suaminya akan kembali, karena tak mungkin mereka dua bisa bertahan lama hidup dijalanan.

***
Rafael menatap tak percaya adinya pulang bersama dengan seorang laki-laki yang sudah tak asing untunya, pria yang sudah berulang kali mengancamnya untuk menjauhi Hana, meski merasa sakit hati dengan ancaman Rangga namun kini Rafael membantu adiknya dan warga membawa tubuh Rangga masuk kedalam rumah sempitnya. Setelah tubuh Rangga terbaring diranjang kamar para warga yang menolong berhambur pergi, dan kini tinggal Della, Dicky, Rafael beserta Rangga yang terbaring tak berdaya dikamar sempit ini.
“Kenapa dia bisa begini (?)” tanya Rafael yang melihat luka lebam diwajah Rangga.
“Aku juga gak tau kakak, tadi waktu Aku ketemu dia sudah dipukuli empat orang preman” Della mengobati luka diwajah Rangga dengan pelan, kalau luka itu dibiarkan saja nanti bisa saja infeksi.
“Della kurang kerjaan banget Loe tolongin cowok jahat macam dia, mendingan tadi Loe tinggalin saja semut RangRang ini dijalanan” ujar Dicky. Dicky juga merasa kesal dengan tingkah Rangga selama ini yang seenaknya sendiri, tingkah Rangga yang selalu memanfaatkan kekayaannya untuk mendapatkan apa yang diingin.
“Kalau Della seperti kakak berarti Della gak punya hati” ujar Della ketus.
“Biarin aja lah Dik kasihan juga Gue lihat dia” ujar Rafael.
“Adik sama kakak terlalu baik padahal juga dia itu sudah keterlaluan” Rafael dan Della hanya dapat menggelengkan kepala mendengar penuturan Dicky. Tak berselang lama Rangga mulai membuka perlahan kelopak matanya, itu berarti Rangga sudah tersadar dari pingsannya. Dilihatnya tempat ini begitu asing untuknya, tak pernah terbayang kalau Ia akan tertidur ditempat ini. Mata Rangga membola ketika melihat Rafael yang berdiri disamping ranjang. Rafael dan Della hanya menatap Rangga sedangkan Dicky bersikap acuh.
“Kalian aw....” rintih Rangga saat hendak bangun dari rebahannya. Della dengan sigap membantu Rangga agar kembali membaringkan tubuhnya, tak ada penolakan dari Rangga karena tubuhnya memang terasa sakit semua.
“Loe istirahat saja disini lagian Gue juga masih punya rasa kemanusiaan” Rafael segera keluar dari kamar ini karena tak mau membuat Rangga marah bila mereka bertatapan terlalu lama.
“Loe lihat orang yang selama ini Loe jahati masih punya hati” ujar Dicky sinis dan berlalu pergi. Rangga hanya diam karena merasa begitu bersalah pada Rafael tapi Rafaek masih saja mau membantu dirinya.
“Diminum dulu kak” Della memberikan segelas air putih pada Rangga, dengan sebuah senyum tipis Rangga menerima gelas yang beriisikan air putih dan meneguknya. Della kembali meletakan gelas bening itu diatas meja dekat ranjang seusai Rangga minum.
“Siapa yah sudah bawa Aku kesini (?), apa Rafael (?)” tanya Rangga.
“Bukan kak Rafa tapi Aku”
“Kamu (?), makasih kamu sudah mau menolongKu” ujar Rangga mengucapkan terima kasih karena Della sudah menolongnya.
“Sama-sama. Kakak istirahat saja ini sudah malam, tapi maaf yah kak kamarnya sempit” Della.
“Gak pa-pa yang penting bisa dibuat untuk tidur” Rangga.
“Nama kamu (?)” lanjutnya.
“Della. Aku keluar dulu dan kakak segera istirahat” ujar Della dan beranjak meninggalkan Rangga dikamar sempit ini. Rangga menatap sekelilingnya, begitu berbeda dengan apa yang ada dirumahnya. Rangga berfikir kenapa Rafael bisa tinggal dirumah macam ini (?), masih banyak tempat yang layak dijadikan tempat tinggal selain rumah kecil ini.
“Baru kali ini Aku mendapat perlakuan dari seorang gadis begitu lembut tanpa ada yang diminta dariKu, tapi sayang Aku selalu berbuat jahat pada kakaknya” ujar Rangga dengan memejamkan kedua matanya. Rangga memuji Della yang telah menolongnya dan merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukan, apa mungkin setelah ini Rangga akan berubah (?) biar part-part selanjutnya yang akan menjawab.

BERSAMBUNG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar